Perkawinan, ta'aruf dan khitbah


PERKAWINAN, TA’ARUF DAN KHITBAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Fiqh Munakahat  pada semester VI Tahun Akademik 2017/2018
Prodi: Hukum Pidana Islam (HPI) / V A

Dosen Pengampu:     Drs. H. Aziz Sholeh, M.Ag

Disusun (Kelompok 1) :
Abdul Muiz Nuroni                            (1153060003)
Elsa Herpiani                                       (1153060016)
                        Dede Maulida Fitri Yani                     (1153060073)
                       
                       





HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah menciptakan kita dalam keadaan mencintai agama-Nya dan berpegang pada syariat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan dan menyusun makalah Fiqh Munakahat mengenaiPerkawinan, Ta’aruf dan Khitbah”.
            Tidak akan terbentuk suatu makalah yang baik dan benar jika tidak ada orang-orang yang demikian sabar membantu dan membimbing kami, maka dari itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Bapak dosen pengampu Drs. H. Aziz Sholeh, M.Ag. selaku dosen matakuliah Fiqh Munakahat.
2.      Berbagai pihak yang telah membantu menyusun makalah ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu dengan tidak mengurangi rasa hormat  dan terimakasih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan seperti yang diinginkan dan diharapkan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya saran dari para pembaca dan pemakai makalah ini untuk menyempurnakan segala kekurangan tersebut. Dengan mengharapkan Ridho dari Allah SWT semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi kami khususnya. Akhirnya, mudah-mudahan upaya kami dalam membuat makalah ini dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai amal yang shaleh. Amin.


Bandung, 10 Februari 2018



Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................      ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................     iii
BAB I      PENDAHULUAN.................................................................................      1
A.    Latar Belakang..................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................      2
C.     Tujuan Penulisan...............................................................................      2
BAB II    PEMBAHASAN....................................................................................      3
A.    Perkawinan........................................................................................      3
B.     Dasar Hukum Perkawinan.................................................................      4
C.     Ta’aruf...............................................................................................      5
D.    Khitbah..............................................................................................      7
BAB III   KESIMPULAN.....................................................................................    10
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan adalah merupakan sunatullah, bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan.
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (Q.S.Dzariat: 49)
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki-laki dn perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Setiap kali kita berkenalan dengan seseorang dapat disebut sebagai ta’aruf. Dalam makna khusus proses pengenalan seseorang terhadap pria atau wanita yang akan dipilih sebagai pasangan hidup sering juga disebut ta’aruf.
Khitbah (meminang) merupakan salah satu aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang musli. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perkawinan?
2.      Apa saja dasar hukum perkawinan?
3.      Apa yang dimaksud dengan ta’aruf?
4.      Apa yang dimaksud dengan khitbah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan perkawinan.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum perkawinan.
3.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan ta’aruf.
4.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan khitbah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkawinan
Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).  Menurut istilah hukum Islam, pernikahan adalah:
الزواج شرعا هو عقد وضعه الشرع ليفيد ملك استمتاع الرجال باالمرأة وحل استمتاع المرأة با الرجال
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. [1]
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.[2] Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.[3]
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

B.     Dasar Hukum Perkawinan
1.      Menurut Fiqh Munakahat
a.       Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut:[4]
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (Q.S. An-Nisa: 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki-laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi:
* uqèd Ï%©!$# Nä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur Ÿ@yèy_ur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry z`ä3ó¡uŠÏ9 $pköŽs9Î) ( $£Jn=sù $yg8¤±tós? ôMn=yJym ¸xôJym $ZÿÏÿyz ôN§yJsù ¾ÏmÎ/ ( !$£Jn=sù Mn=s)øOr& #uqt㨊 ©!$# $yJßg­/u ÷ûÈõs9 $oYtGøŠs?#uä $[sÎ=»|¹ ¨ûsðqä3uZ©9 z`ÏB šúï̍Å3»¤±9$# ÇÊÑÒÈ  
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Q.S. Al A’raaf: 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).[5]
b.      Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya”. (H.R.Bukhari-Muslim).[6]
2.      Menurut Undang-Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya:[7]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya [8]dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, pereundang-undangan yang berlaku.
3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa:
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

C.    Ta’aruf
Kenyataannya, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, yang  di dalamnya ada cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q. S. Al Isra' : 32)
Ta’aruf adalah terminology baru dalam proses hubungan pra nikah yang bertujuan untuk masing-masing pihak memiliki gambaran tentang orang yang akan menikah dengannya. Pada masa kenabian tidak dikenal istilah ta’aruf. Karena pada masa itu orang tua sangat memahami kewajiban mereka untuk menikahkan putra-putri mereka dengan pasangan yang shaleh. Merekalah yang lebih mengenal calon menantunya secar mendalam.Sedangkan pada masa ini peran orang tua dalam menjodohkan anaknya tidak terlalu menonjol.
Ta’aruf dapat dilakukan dengan cara kedua pihak telah memiliki informasi tentang pihak lain baik berupa biodata maupun foto. Selain itu dapat juga pihak laki-laki melihat pihak wanita tanpa sepengetahuannya, sebagaimana mazhab Syafi’i, Maliki, Ahmad dan Jumhur Ulama yang menyatakan kebolehan memandang calon yang akan dikhitbah tanpa sepengetahuannya, maka boleh jadi ia membatalkan maksudnya tanpa menimbulkan ketersinggungan di pihak yang lain.
Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang disabdakan Rasulullah SAW:
“Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud).
Langkah selanjutnya dapat dilakukan pertemuan antara kedua belah pihak dengan melibatkan mediator (teman atau kerabat). Tujuannya adalah untuk lebih mengenali jasadiah (bentuk, rupa, penampilan), fikriyah (wawasan) dan nafsiah (sifat, karakter, akhlaq). Juga perlu disampaikan jika memiliki penyakit yang harus diketahui calon pasangannya. Perlu dipahami bahwa ta’aruf tidak memiliki kekuatan legal apapun dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi jangan pernah berpikir bahwa setelah ta’aruf berarti anda terikat dengan seseorang. Ta’aruf hanya merupakan jembatan menuju proses selanjutnya yaitu khitbah atau meminang. Ta’aruf juga diperlukan untuk membuka proses komunikasi dengan orang tua kedua belah pihak.

D.    Khitbah
Apabila seorang laki-laki hendak kawin dengan seorang perempuan, lebih dahulu didahulukan pinangan. Menurut istilah agama, pinangan itu dinamakan khitbah. Perkataan tersebut berasal dari pokok kata khataba, artinya berbicara. Khitbah artinya pembicaraan. Dengan demikian, pinangan untuk sesuatu perkawinan adalah merupakan satu pembicaraan.[9]
Khitbah atau pinangan itu pada umumnya dilakukan oleh pihak laki-laki dan dihadapkan kepada wali pihak perempuan. Sehingga disebut disini pada umumnya, sebab pihak perempuan bisa (boleh) juga melakukan pinangan itu terhadap laki-laki.
Apabila perempuan yang hendak dikawini itu sudah dewasa dan telah pernah bersuami (janda), pinangan itu boleh juga dihadapkan lansung kepada perempuan yang bersangkutan.
Jika perempuan yang akan dipinang itu belum akil-balig dan belum pernah bersuami, maka pinangan tersebut dihadapkan pada walinya.
Mengingat bahwa perkawinan itu satu langkah dan tingkat yang penting dalam penghidupan manusia, maka Islam telah meletakkan dasar-dasar yang layak tatkala melakukan sesuatu pinangan. Dasar yang dimaksud ialah ukuran (kriteria) dari perempuan yang akan dikawini itu. Selain dari itu, agama Islam membukakan kesempatan untuk melihat sendiri perempuan yang akan menjadi calon isteri itu, sehingga kesempatan itu memberikan kemungkinan kepada pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk saling berkenalan, mengetahui dari dekat keadaan masing-masing.
Adapun dasar untuk memilih calon isteri itu diterangkan didalam Al-Qur’an:
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# ... ÇÌÈ  
Artinya: “Kawinilah perempuan yang kamu sukai (baik-baik)”. (Q.S. An-Nisa: 3)
Didalam hadits yang lain diterangkan pula, bahwa tatkala seorang sahabat yang bernama Mughirah Ibnu Syu’bah hendak meminang seorang perempuan, Rasulullah berkata kepadanya:
اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَإِنَّهُ اَحْرَى اَنْ يُؤَدِّمَ بَيْنَكُمَا (رواه الترمذى)
Artinya: “Lihatlah perempuan itu lebih dahulu, karena yang demikian akan memungkinkan terciptanya kasih sayang kelak sayang kelak antara kamu berdua”. (HR. at-Tirmidzi)
Hadits tersebut memberikan dasar hukum tentang kebolehan, yaitu keharusan untuk melihat sendiri lebih dahulu perempuan yang akan dipinang menjadi isteri.
Adapun ukuran atau kriterium dalam memilih perempuan yang akan dikawini itu, disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِمَالِهَا وَجَمَالِهَا وَحَسَبِهَا وَدِيْنِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (متفق عليه)
Artinya: “Nikahilah perempuan karena hartanya, kecantikannya, turunannya dan agamanya. Utamakan memilih perempuan yang beragama”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
لاَتَنْكِحِ الْمَرْأَةَ لِجَمَالِهَا فَلَعَلَّ جَمَالَهَا يُرْدِيْهَا وَلاَلِمَالِهَا فَلَعَلَّ مَالَهَا يُطْفِيْهَا وَانْكِحِ االْمَرْأَةَ لِدِيْنِهَا
Artinya: “Janganlah nikahi perempuan karena kecantikannya semata-mata, sebab mungkin akan merusakkan dan jangan pula karena hartanya semata-mata, karena mungkin akan menimbulkan kesombongan. Nikahilah perempuan lantaran agamnya.”
Hadits-hadits tersebut diatas memberikan pengertian, bahwa  perempuan yang akan dikawini itu kalau mungkin didapat ialah yang mempunyai harta, kecantikan, turunan orang yang baik-baik dan beragama. Tetapi, jika sifat-sifat itu tidak dapat berhimpun, maka titik berat pilihan haruslah diletakkan kepada perempuan yang kuat keagamaanya, sebab kalau hanya semata-mata  kekayaan dan kecantikan yang dijadikan ukuran, lebih banyak  kemungkinan akan menimbulkan kesulitan.
Hal lain berkenaan dengan soal peminangan itu, yaitu menurut ketentuan Islam tidak boleh meminang perempuan yang sedang dipinang orang lain, sebelum ada kepastian pinangan itu ditolak. Juga tidak dibolehkan meminang perempuan janda yang masih di dalam masa iddah, baik janda karena kematian suami atau lantaran bercerai.


BAB III
KESIMPULAN

Perkawinan menurut istilah agama ialah melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang  laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar keridhaan dan kesukaan kedua belah pihak, dilakukan oleh wali pihak perempuan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Tujuannya ialah untuk menghalalkan percampuran antara keduanya dan untuk menumbuhkan kecenderungan antara yang satu dengan yang lain dan mewujudkan masing-masing menjadi teman hidup bagi yang lainnya.
Dasar hukum perkawinan menurut fiqh salah satunya yaitu disebutkan dalam Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 3 dan dalil As-Sunnah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah. Perkawinan diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) dan menurut KHI diatur dalam Pasal 2 dan 3.
Apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.
Ta’aruf adalah terminology baru dalam proses hubungan pra nikah yang bertujuan untuk masing-masing pihak memiliki gambaran tentang orang yang akan menikah dengannya.
Secara syariat khitbah berarti lamaran, pinangan atau permintaan secara resmi untuk menikah yang ditujukan kepada seorang perempuan melalui walinya jika ia gadis ataupun secara langsung bila ia janda, baik telah ada kepastian diterimanya maupun belum ada kepastian.



[1] Sava Lova, “Pernikahan dalam Islam”, diakses dari http://menulis-makalah.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pernikahan-dalam-islam.html pada tanggal 13 Februari 2018 pukul 19.59
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
[3] Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 4
[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
[5] Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 43
[6] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), hlm. 29
[7] Op.cit., hlm. 50
[8] Diakses dari http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 08.25
[9] Op. Cit., hlm. 42

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Adat dalam Yurisprudensi

Kaidah Kebudayaan Menjadi Kaidah Hukum Sosial